Kesejahteraan Petani dan Masyarakat Desa
(Sebuah Tantangan Besar)
Alamat email and wabsite :
bystrekermraanmedancity@gmail.com
streker_s@yahoo.co.id
http://www.friendster.com/bystrekermraanmedancity
http://www.streker_s.frendsdiplay.com
http://www.bystrekermraanmedancity.blogspot.com
http://www.bystrekermraanjogjacity.blogspot.com
hp. 085292369440
I.Pendahuluan
Pembangunan pertanian adalah salah satu masalah yang sampai saat sekarang ini belum dapat teratasi karena rendahnya tingkat pendidikan petani. Dengan demikian harapan semua masyarakat beserta pemerintah agar pembangunan pertanian dapat berubah menjadi lebih baik juga dapat mensejahterakan pelaku-pelaku pertanian terutama keluarga tani. Pembangunan pertanian di Indonesia dimulai pada tahun 1960-an, sebagai pilihan kondisi saat itu dimana kita kekurangan pangan akibat situasi ekonomi politik yang tidak menguntungkan dan ledakan penduduk yang luar biasa., yang dipikirkan saat itu adalah bagaimana menekan jumlah penduduk dan mencukupi kebutuhan pangan secara nasional. Pembangunan pertanian saat itu dibangun dengan mengadopsi model yang sedang berkembang di berbagai belahan dunia, dimana model pertanian harus dirubah secara total. Pertanian tradisional dianggap tidak layak lagi karena yang dibutuhkan adalah ketersediaan pangan dalam jumlah besar dan cepat. kebutuhan pangan ini muncul seiring dengan banyaknya perusahaan multinasional yang mendirikan pabrik pestisida dan pupuk kimia, serta benih-benih hibrida baik yang diproduksi perusahaan maupun dari pusat-pusat penelitian internasional (misalnya IRRI). Di samping itu ada tawaran hutang dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank), IMF, dll.
II.Perubahan Ekonomi
Sejak saat itulah terjadi perubahan besar-besaran di tingkat petani dan lingkungannya, dimana saat itu petani yang tidak pernah menggunakan benih hibrida, pupuk kimia dan pestisida, dipaksa menggunakannya. Lahan yang biasa diolah dengan menggunakan ternak, dipaksa diolah dengan traktor dan mesin lainnya. Waduk-waduk dibangun untuk mencukupi kebutuhan air sepanjang tahun. Infrastruktur desa seperti jalan, pasar, KUD juga dibangun untuk mempermudah penjualan produk pertanian mereka serta dalam rangka penyaluran kredit.
Dampaknya tentu sangat luar biasa, baik dampak dari segi social dan segi ekonomi. Ketersediaan pangan terutama beras melimpah, bahkan tahun 1987 Indonesia dinyatakan berswasembada beras. Pola makanan pokok masyarakat Indonesia beralih ke beras. Penggunaan bahan-bahan atau pun barang-barang dari luar yang merupakan produk pabrikan ternyata merusak struktur tanah, lingkungan tercemar, polusi air bahkan beragam mikroba tanah musnah. Penggunaan alat mekanisasi pertanian menyebabkan akses ekonomi perempuan hilang. Pembangunan waduk menggusur tanah-tanah milik rakyat, dsb.
Dampak utama pembangunan pertanian konvensional yang berjalan hampir 40 tahun ini adalah terpuruknya kehidupan petani. Petani yang diandalkan sebagai aktor utama penyangga ketersediaan pangan nasional, ternyata tingkat kesejahteraan ekonominya tidak lebih baik. Angkatan kerja muda pertanian hilang karena banyak di antara mereka pindah (urbanisasi) ke kota, beralih profesi menjadi buruh pabrik atau bangunan, pembantu rumah tangga, hingga menjadi pekerja migran ke luar negeri. Tidak ada generasi muda yang mau (bercita-cita) menjadi petani.
III.Perubahan Sosial
Kerusakan-kerusakan struktur tanah, polusi air, pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk dan pestisida buatan pabrik menghasilkan produk-produk pertaniannya mengandung racun. Kesehatan manusia (konsumen) terancam. Berbagai penyakit yang diderita masyarakat sebagai akibat penggunaan pupuk dan pestisida pabrik adalah munculnya penyakit-penyakit baru yang dulu tidak ada, misalnya kanker, bayi lahir mati (infant mortality) atau lahir cacat, dan lain sebagainya. Kenyataan ini memicu kesadaran orang untuk mencari alternatif pangan yang lebih sehat. Pertanian lestari menjadi pilihan utama dan muncul sebagai gerakan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) pada awal 1990-an.
Munculnya gerakan ini semula dipelopori oleh para pecinta lingkungan yang khawatir terjadi kerusakan alam secara terus menerus akibat penggunaan bahan-bahan kimia, juga punahnya berbagai keanekaragaman hayati dimuka bumi. Gerakan ini mendorong perubahan dalam praktek-praktek usaha tani. Penggunaan bahan-bahan kimia (pupuk dan pestisida) dikurangi, kembali ke cara-cara tradisional yang menghargai potensi lokal, menempatkan petani sebagai subyek pertanian, mengelola usaha tani sesuai dengan budaya dan lingkungan setempat, serta mengupayakan perdagangan yang adil (fair trade). Upaya-upaya perubahan pola pertanian ini sangat bergantung pada kepentingan petani, apakah secara pelan atau secara total. Pendekatan perubahan ini banyak ragamnya, tergantung pada fokus pembelajarannya. Gerakan perubahan pola pertanian yang selaras alam dan lestari banyak dimotori oleh penggiat LSM Lingkungan, Peneliti dan Akademisi, juga oleh petani sendiri. Beragamnya pola pendekatan dan strategi yang dikembangkan menjadikan gerakan ini sangat populer. Banyak donor yang ikut mendukung terwujudnya gerakan ini.
Pendekatan dan strategi yang dikembangkan dalam model pertanian berkelanjutan ini dilakukan dengan cara mendorong tumbuhnya sumber-sumber pendapatan keluarga petani di pedesaan tanpa harus merubah budaya kehidupan yang sudah dikenalnya sejak lahir yakni pertanian. Strategi yang banyak dikembangkan mencakup 2 hal yakni on farm (di lahan pertanian) dan off farm (di luar lahan pertanian). Model on farm yang dikembangkan tidak harus kembali pada model tradisi-onal yang sudah ada sejak dulu, namun perlu disesuaikan dengan situasi lingkungan yang sudah berubah, juga kebutuhan (pangan dan ekonomi) yang semakin besar. Kedua model ini memadukan beragam cara agar petani mempunyai kesempatan memperoleh pendapatan dari berbagai sumber (diversifikasi usaha).
Model pertanian berkelanjutan ini juga muncul sebagai upaya untuk menjawab berbagai persoalan yang ditimbulkan sebagai dampak Revolusi Hijau. Re-volusi hijau memang diciptakan untuk mengantisipasi kekurangan pangan di seluruh dunia yang terjadi pada sekitar tahun 1960-an, karena ledakan jumlah penduduk, kemiskinan dan kelaparan di berbagai negara akibat perang.
Revolusi hijau dimodali oleh korporasi international (TNC/MNC) di bidang pertanian dan berhasil menangguk keuntungan yang luar biasa besar. Mereka menanamkan modal besar untuk mendorong munculnya pusat penelitian tanaman pangan di berbagai negara, mengambil benih lokal petani untuk dijadikan benih baru dan kemudian dipatenkan. Untuk menanam benih baru supaya menghasilkan panen yang optimal, harus menggunakan pupuk dan pestisida. Gen (benih) yang digunakan untuk menghasilkan varietas tanaman baru memang dipilih yang bersifat rakus pupuk dan pestisida. Pemilik pabrik benih, pupuk dan pestisida adalah perusahaan yang sama. Tercatat di tahun 2000, ada 6 perusahaan kimia pertanian terbesar yaitu Sygenta, Monsanto, Dupont, Aventis, BASF dan Down Chemical Co mampu mengeruk keuntungan lebih dari US $ 20.422 juta dari penjualan bahan kimia pertanian, dan US $ 4.836 juta dari benih dan pangan transgenik. Bahkan perusahaan tersebut akan terus mengeruk keuntungan dari petani dan masyarakat dengan janji bahwa pertanian dengan tehnologi tinggi akan memberikan hasil panen yang lebih tinggi serta berkualitas, tahan serangan hama penyakit, dan mampu menghasilkan produksi tinggi. Revolusi hijau selalu dipakai sebagai alat promosi keamanan pangan dan kesejahteraan petani hingga saat ini.
Prinsip pengelolaan pertanian berkelanjutan adalah multikultur, menghargai keanekaragaman hayati, menghargai kearifan lokal, memanfaatkan bahan-bahan lokal, tidak bergantung bahan luar, tidak mengekploitasi alam serta sesuai budaya dan pilihan serta kemampuan petani. Prinsip-prinsip tersebut menumbuhkan beragam model pertanian berkelanjutan di berbagai belahan dunia. Petani kecil yang seringkali mempunyai keterbatasan dalam mengakses sarana dan prasarana produksi pertanian, melalui pertanian lestari mempunyai peluang yang luas dalam memba-ngun usaha pertaniannya. Kepercayaan petani kembali tumbuh karena bisa membuat keputusan sendiri terhadap usaha taninya serta mampu membuat benih pupuk dan pestisida sendiri, mempunyai organisasi serta jaringan antar petani.